Selasa, 28 April 2009

2 ekor burung pipit dan anak burung ketilang

“TUHAN, jadikanlah aku seperti burung pipit yang tetap ingin menolong anak burung kutilang, walaupun dia tahu bahwa anak burung kutilang itu bukanlah anaknya dan lebih besar darinya”

Kemarin putri saya (4 tahun) menemukan seekor anak burung nyemplok di pagar teras rumah. Bu De (pembantu kami) memasukkannya ke dalam sangkar yang sudah lama kosong dan diberi air minum serta makanan burung. Tadi pagi anak saya ingin melihat anak burung itu. Dia minta saya menurunkan sangkar burung yang letaknya tidak terjangkau olehnya. Anak burung itu masih hidup. Kepalanya masih botak belum sempurna ditutupi oleh bulu. Lemas. Kelihatannya tidak makan dan minum. Mungkin belum tahu caranya minum dan makan dari tempat yang sudah tersedia dalam sangkar.
Dari ciri-cirinya mungkin anak burung itu sejenis burung kutilang. Tapi bagaimana dia sampai nyemplok di pagar teras rumah kami? Bu De bilang, “Itu mungkin anak burung pipit yang jatuh dari sarangnya di pohon mangga”. Memang di halaman depan rumah kami tumbuh subur pohon mangga. Burung pipit selalu bersarang di sana. Ada 3 hingga 4 sarang burung pipit di pohon itu. Tapi, anak burung itu bukan anak burung pipit. Tubuhnya terlalu besar, paruhnya terlalu runcing dan bulunya terlalu lebar dan panjang. Warnanya juga agak kuning. Suaranya juga lebih berat daripada suara burung pipit. Lebih mirip anak burung kutilang.
Rasanya agak mustahil kalau anak burung itu terbang dari sarangnya dari tempat jauh. Terbangnya belum sempurna. Anak saya saja dapat menangkapnya. Tidak ada pohon atau semak di sekitar rumah yang cocok jadi tempat burung kutilang bersarang. Induk burung kutilang pun jarang di sekitar rumah. Jika induknya ada di sekitar rumah, biasanya akan ribut mencari anaknya.
Anak saya berusaha menyuapi anak burung itu dengan air minum dan makanan burung. Namun nampaknya sia-sia. Anak burung itu malah kelihatan tersiksa. Dan kalau terus begitu, kelihatannya akan mati.
Mungkin lebih baik dilepas saja. Di alam bebas anak burung itu akan belajar bertahan hidup. Tubuhnya akan lebih kuat. Bulu dan sayapnya akan lebih kuat untuk dapat terbang sempurna. Dan mudah-mudahan induknya menghampiri. Saya coba membantunya agar nyemplok di ranting pohon mangga. Berkali-kali saya bantu, berkali-kali pula jatuh kembali. Akhirnya saya coba melemparkannya ke atas dengan lembut. Ternyata dia mengepakkan sayapnya dan berhasil menjangkau ranting pohon mangga.
Ketika proses mengepakkan sayap itu dan mencoba mendarat di sebuah ranting itulah dua ekor burung pipit terbang menghampirinya. Sambil bersuit-suit lembut burung pipit itu seolah-olah mengajari anak burung kutilang itu bagaimana caranya terbang dan mendarat dengan mulus. Kedua ekor burung pipit itu bergantian lompat sana lompat sini sambil berkicau di sekitar burung kutilang. Mungkin mereka mencoba berkomunikasi dengan caranya sendiri.
Anak burung kutilang itu kelihatannya menikmati komunikasi itu. Sayapnya dikibas-kibaskan dan tubuhnya seperti diguncang-guncangkan. Persis seperti anak saya ketika menyambut saya atau istri saya pulang kerja.
Demikianlah, sedikit demi sedikit anak burung kutilang itu melompat-lompat kecil sambil mencoba terbang pendek. Beberapa saat kemudian terlindung di antara daun mangga yang rindang dan akhirnya tidak kelihatan. Saya pun tidak melihatnya lagi. Suaranya masih sesekali terdengar dari antara rimbunnya pohon mangga. Saling bergantian antara kicauan burung pipit dan anak burung kutilang.
Saya duduk termenung di kursi taman yang ada di bawah pohon mangga. TUHAN telah berbicara kepada saya lewat anak burung kutilang dan dua ekor burung pipit itu.
Beberapa jenis burung memang ada yang menitipkan telurnya ke dalam sarang burung jenis lain agar ditetaskan. Tidak jelas alasannya. Mungkin saja burung tersebut tidak dapat membuat sarang sendiri, malas membangun sarang, suhu tubuhnya tidak cocok untuk mengerami telurnya, atau mungkin tidak mau repot dengan urusan mengerami telur hingga membesarkan anak. Tetapi sepanjang pengetahuan saya, burung kutilang tidak termasuk jenis burung yang berkarakter “titip telur”. Burung kutilang membuat sarang sendiri dan mengerami serta merawat anak sendiri. Sarangnya cukup nyaman, walaupun tidak senyaman sarang burung pipit apalagi sarang burung manyar.
Burung yang dititipin telur mengerami telur titipan hingga menetas dan bahkan hingga sanggup mandiri. Burung induk semang itu kemungkinan besar tahu bahwa telur tersebut bukan telurnya. TUHAN mengaruniakan insting yang tajam bagi ciptaanNya. Ukuran dan warnanya saja kebanyakan berbeda jauh dari telurnya sendiri. Tetapi kenapa burung induk semang itu tetap mengerami telur dan merawatnya hingga dewasa?
Beberapa jenis burung penitip telur bahkan menyingkirkan telur asli burung induk semang agar telurnya sendiri muat dalam sarang. Sebagian di antaranya bahkan memecahkan telur asli tersebut dan menyedot isinya. Sangat egois dan sadis. Tetapi burung induk semang memaafkannya. Dia tetap mengerami telur tersebut, membolak-balikkannya agar panas tubuhnya merata di setiap permukaan telur. Bahkan ada telur tertentu yang harus dijaga posisi atas dan bawah jangan sampai terbalik.
Sama seperti ayam yang mengerami dan menetaskan telur bebek. Ayam mungkin tahu bahwa ukuran telur bebek itu bukan ukuran telurnya sendiri. Warnanya pun lebih biru dan baunya pun lebih menyengat. Waktu eramnya pun seminggu lebih lama dari telurnya sendiri. Tetapi ayam tetap mengerami dan menetaskannya.
Ketika anak bebek menetas, ayam pun sudah tahu bahwa suara anak bebek itu lebih cerewet, paruhnya lebih pipih dan bulunya lebih halus. Bahkan ketika suka berenang daripada mengais, ayam pun mungkin tahu bahwa anak itu anak bebek, bukan anak ayam. Tapi adakah induk ayam yang menelantarkan anak bebek yang ditetaskannya? Atau, adakah induk ayam yang dendam kepada induk bebek sehingga menabuh genderang perang permusuhan? Sepanjang sejarah peradaban belum ada cerita atau dongeng yang mengisahkan dendam kesumat induk ayam kepada induk bebek. Sebaliknya, tidak ada pula kisah tentang ungkapan terimakasih induk bebek kepada induk ayam yang telah membuat regenarasi bebek berlangsung hingga kini.
Merenungkan hal tersebut di atas, ingin rasanya saya mengucapkan doa seperti doa pembuka di atas. Burung pipit itu tetap tulus membantu anak burung kutilang itu bertahan mengarungi kehidupan. Walaupun kedua burung pipit itu sudah mendengar suara (bahasa) yang berbeda, ukuran tubuh yang lebih besar, bulu dan sayap yang lebih lebar dan panjang. Burung pipit tetap setia, ikhlas, tulus.
Bukankah manusia cenderung memilih-milih teman yang ingin diajak kerjasama atau untuk ditolong? Deretan check list berikut selalu muncul dalam pikiran kita: seagamakah, sesukukah, sedarahkah, dan lain sebagainya.
Tidak ada jaminan anak burung kutilang itu akan bertahan hidup atau tidak. Tetapi burung pipit yang kecil telah menunjukkan kebesarannya dengan menolong burung kutilang yang lebih besar agar berjuang mengarungi kehidupan.
Selamat berjuang anak burung kutilang!
Terimakasih burung pipit yang telah menjadi media TUHAN menunjukkan kasihNya!
Puji Syukur TUHAN yang telah menyapaku hari ini.
Posted by Nasun Datpan Dita at 4/16/2009 04:03:00 PM 0 comments
Labels: menolong tanpa pamrih

Minggu, 12 April 2009

Hari ini Pembelajar Sukses Mulia mulai pembelajaran baru di TDW University