Rabu, 25 Februari 2009

Kesadaran diri?

Sejauh mana Kesadaran menyertaiku?

Dalam perjalanan dari rumah di Bumi Serpong Damai menuju Kawasan Industri Cibitung pada pagi ini (Senin, 3 Nopember 2008), dalam situasi lalin yang padat cenderung macet (seperti biasa pada hari Senin, dimana banyak orang mengatakan “I hate Monday”) saya coba merenung tentang sejauh mana kesadaran menyertaiku?
Teringat cerita seorang teman, sekaligus boss sebuah group perusahaan menengah :
“Saya dilahirkan dalam keluarga yang berbahagia, sebagai salah seorang anak dalam keluarga besar – kakak-kakak – karena saya anak bungsu” Kehidupan saya serba berkecukupan, tetapi orang tua saya mendidik saya untuk tidak bergantung kepada kekayaan orang tua; Sekolah bahkan sampai menamatkan jenjang pendidikan S2 (master) di luar negeri senantiasa mendapatkan predikat “memuaskan”. Akan tetapi setelah saya “terjun” kedalam dunia yang “nyata” ternyata semua tidak memuaskan bagi saya, materi yang berlimpah, pendidikan formal yang relative tinggi, isteri dan anak-anak yang cantik dan ganteng, semuanya ternyata tidak dapat memuaskan saya; Karena saya – berkat usaha saya sendiri – dapat mencapai kehidupan yang berlimpah materi akhirnya membuat saya sulit menghargai orang lain. Karyawan saya tidak lebih dari sederetan angka-angka yang pada gilirannya akan menghasilkan kumpulan angka (nilai-nilai rupiah dan dollar) bagi saya. Pada hari ini (saat beliau bercerita pada saya di hari ultahnya itu) suatu bentuk kesadaran menghentak pikiran dan sanubari saya.
Pagi ini (dan sebetulnya setiap pagi-pagi dan sepanjang hari-hari yang lain, yang selalu luput dari perhatian dan kesadaran saya) Saiful (bukan nama sebenarnya), office boy yang telah 10 tahun ikut perusahaan saya, menyapa saya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum (suatu senyum tulus yang belum pernah saya lihat, mungkin luput dari kesadaran saya selama ini) berucap “Selamat ulang tahun pak”. Office boy yang selama ini, tanpa diminta dan disuruh, selalu menawarkan “kebaikan” pada setiap karyawan dan bahkan orang lain yang datang ke perusahaan saya. Office boy yang selama ini, selalu menebar senyum meski mendapatkan “semprotan kemarahan” dari atasan-atasan yang merasa dirinya tinggi dan berkedudukan.
Pagi ini, dengan suatu bentuk kesadaran, saya belajar dari seorang office boy, bahwa hidup adalah bentuk penghayatan. Meski dengan upah yang sebatas UMR, dengan pendidikan yang hanya lulus SMP, dengan seorang isteri yang berprofesi guru dan anak yang masih bayi, sang office boy ternyata bukan hanya sebuah angka…..tetapi menjadi “guru kehidupan” saya hari ini.
Pagi ini, saya teringat bahwa selama ini, saya senantiasa menanggapi semua bentuk sapaan dengan dingin……… Kesadaran ini, membuat saya bertekad bahwa mulai hari ini saya akan “berbagi” perhatian, berbagi senyum bahkan untuk orang-orang kecil namun besar dalam “kesadaran”

Cerita ini, dalam perenungan sepanjang perjalanan pagi ini, membuat saya terhenyak dengan satu pertanyaan yang menohok kedalam sanubari saya : Sejauh mana kesadaran menyertaiku?
Pertanyaan demi pertanyaan bermain di kepala saya :
Siapakah saya ini? Makhluk ciptaan yang senantiasa mencari hakikat kehidupannya? Makhluk yang terdiri dari darah dan daging, tetapi lebih dari itu, memiliki otak dan hati yang kadang dipakai untuk berpikir dan berempati.
Untuk apa kehidupan saya selama ini?
Untuk membahagiakan orang-orang yang saya cintaikah? Siapakah orang-orang yang saya cintai itu? Kalau ternyata saya telah gagal, apakah kesadaran tidak menyertai langkah saya selama ini? Apakah saya melangkah dalam ketidaksadaran? Saat dimana saya mulai menggapai kehidupan dalam Hidayah Allah, saya bertanya ”Sampai kapan Engkau akan mencobai hambaMu ini ya Allah?”. Hati dan kesadaran (yang salah atau benar?) ini seakan memberontak.
Saat saya diingatkan bahwa ”Allah tidak akan mencobai umatNya melebihi kekuatannya” kembali hati ini bertanya seberapa besarkah kekuatan hamba? Apakah saya selama ini under estimate terhadap kekuatan saya? Ataukah saya selama ini tidak peduli terhadap orang lain, bahkan terhadap orang-orang yang mencintai saya?
Setelah semua yang terjadi pada saya saat ini, apakah saya masih layak untuk mencintai dan dicintai?
Kembali ke Rumah Kesadaran saya, apakah penyerahan diri kepada Kekuasaan Allah tidak mengingkari kodrat saya sebagai makhluk yang diberi akal budi? Seolah-olah tanggung jawab terhadap kehidupan saya adalah tanggung jawab Sang Pemberi Kehidupan?
Auk ah elllap...... capek juga mikirin, jalanin aja hidup ini.....(tapi kalau pakai prinsip air mengalir......saya kan gak mau kalau mengalirnya ke comberan atau ke septic tank)

Hamba Allah yang berusaha kembali ke Rumah Kesadaran.(dk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar